Kisah Sedih di Pura Besakih

Surat Terbuka Untuk Semua Penjaja di Pura Besakih

Andai kalian paham betapa agung nya pura kalian yang mampu membuat mata kami -para wisatawan, terpana beberapa lama, mungkin kalian tak akan melakukan apa yang kalian lakukan sekarang. Kita sama-sama tau kalau kita butuh uang setiap hari. Butuh hidup kata kalian. Tapi bukankah dengan membuat orang tidak nyaman datang, malah akan membuat penghidupan kalian berkurang?

Pura kalian indah. Sangat sangat indah. Masih tersimpan kegaguman saya pada tempat ibadah yang berada diketinggian 1000mdpl itu. Namun sayang, hawa sejuk yang disajikan alam berbanding terbalik dengan suasana yang kalian sajikan untuk kami -tamu kalian, saudara kalian.

Tidak ada salah nya dengan berjualan di tempat wisata. Bukankah memang objek wisata seyogyanya sebagai peningkat ekonomi warga di sekitarnya. Namun tolong jangan lupakan kesan yang seharusnya kami bawa pulang. We don’t remember days, we remember moments, huh?


Kenapa ko saya segini memiliki kesan buruk dengan tempat seindah itu? Jadi gini kronologinya, seperti yang uda kesebut di atas tadi, kami dari Kuta menempuh perjalanan sekitar 3 jam menembus hujan deras. Naik turun motor buat tanya sana-sini. Dan inget, ini Bali, bukan Jakarta. Yang 3 jam bisa aja cuma jarak antara Harmoni-Grogol kalo lagi parah-parahnya. Sampai disana baju basah badan kedinginan. Ini di gunung dan kami keujanan, kebayang dong bo’. Meskipun gitu kami masih seneng-seneng aja. Karena emang uda diniatin banget buat kesana. Nahh sumber ke-Bete-an kami pun di mulai di pelataran pura. Sebelum masuk kawasan pura tadi, kita ditarik uang tiket Rp 15.000. Bukan…bukan karena di tarik uang tiket. Itu mah kewajiban. Tapi, setelah kami bayar tiket lalu masuk ke pelataran buat parkir. Diserbu lah kami oleh penjaja-penjaja disana. Yang mereka jajakan adalah sesajen, sewa kain, postcard dan lain-lain. Yang saya tidak suka adalah para penjaja sesajen dan kain, mereka berbohong. Mereka bilang wajib hukumnya mengenakan kain dan membawa sesajen kalau ingin masuk ke pura. Kami jelas ngga mau. Karena emang ngga ada aturannya kaya gitu. Ini manfaatnya dari mencari tau lebih banyak tentang destinasi yang ingin dituju. Hingga akhirnya datanglah bapak-bapak berwajah budiman, yang namun sayang kelembutan sikap beliau masih tidak bisa mengelabui insting saya kepada setiap orang yang mengancam keselamatan dompet kami. Bapak itu meminta tiket masuk kami. Saya pikir saya sudah salah duga alias su’udzon ke bapaknya. Saya pun memberikan tiket masuk kami karena mungkin memang begitu prosedurnya. Para penjaja belum juga menyerah dan mulai menyindir nyinyir kepada kami dengan menggunakan bahasa Bali. Antara untungnya atau sayangnya, sedikit-sedikit kami paham bahasa Bali. Spontan kami balas dengan ngomong bahasa Jawa suroboyoan cuma biar mereka berasa disindir balik aja. Padahal kami sama sekali ga ngomongin mereka dan padahalnya lagi, diantara kami ngga ada yang orang Surabaya hahahha…raut wajah mereka mulai kebingungan. Bapak tadi seperti tak acuh kepada mereka, jadi saya pikir bapak itu tidak berada di pihak mereka. Kemudian saya tanya, apa benar yang mereka bilang, kalau wajib membawa sesajen dan mengenakan kain. Bapaknya bilang dengan seluruh nada kebijaksanaan, “Disini semuanya sukarela, tidak ada yang wajib. Jadi kalau mba mau silahkan, kalau tidak pun tidak apa-apa”. Ya jangan ditanya lagi dong jawaban kami kaum fakir ini apa :)))

Setelah memutuskan dengan teguh kami menolak halus penjaja-penjaja tadi, kami masuk dengan si Bapak ke pintu pura. Nah nah nah, disinilah insting saya terbukti. Diawali dengan, “Jadi begini mba-mba sekalian, pura ini kan merupakan situs yang blablabla….jadi mungkin mba-mba ini ingin mengetahui lebih banyak tentang sejarah dan lain hal mengenai pura ini saya bisa blablabla dengan imbalan sukarela saja mba”. Teman saya pun tergoda imannya mendengar kata sukarela. Manuasiawi sih, kita bisa dapet banyak info dengan bayaran sukarela, siapa yang tidak tergoda. Tapi dasar saya ini pelit bin medit, saya pun dengan sendirinya menampakkan wajah keraguan saya ke bapak ini. Mungkin si bapak peka, yang walhasil beliau bilang, “Sukarela saja mba. 50ribu cukup”. Kannn kannn kann, ini dia bukti feeling ga enak saya daritadi. Sukarela kok gocap. Bisa buat makan 2 hari itu berdua. Akhirnya saya menggunakan jawaban pertama dan terakhir saya ke si bapak, “Disini tidak ada yang wajib kan pak, jadi kalau saya tidak pake guide tidak apa-apa kan?” Mungkin karena merasa kena headshot si bapak pun mundur antara pasrah karena kemakan omongan sendiri dan juga kesel dengan jawaban seenak jidat saya.

Cobaan belum berakhir sodara-sodara, di dalam pun kami masih berjibaku dengan penjaja disana. Yang bikin makin kesel adalah banyak sekali anak-anak yang harusnya masih bermain, disuruh orang tuanya untuk berjualan postcard. Dan yang bikin saya naik darah adalah, lagi-lagi mereka diajari BERBOHONG. Gimana nasib anak-anak ini nantinya kalau waktu membangun akarnya bukannya dibangun kokoh dengan nilai-nilai budi pekerti yang baik, namun hanya dengan bagaimana cara agar mereka bisa dapat uang cepat dan banyak. Serendah itu mereka mendidik titipan Tuhan yang masih segitu polosnya. Anak-anak ini diajari bagaimana kalimat yang harus mereka ucapkan dengan terkesan melagukan untuk menawarkan postcard yang mereka bawa. “Ibu-ibu….tolong beli dagangan saya. Sepuluh ribu saja. Untuk saya sekolah.” Dan menggunakan bahasa Inggris bila mereka menawarkan ke turis asing. Kami mendengar kalimat “untuk saya sekolah” pun tergelitik untuk coba membahasnya. Kami tanya, umur berapa? Dan FYI, mereka baru umur 3 dan 5 taun. Umur segitu mereka seharusnya bermain, kenapa mereka berdagang. Lalu kami tanya lagi, emang sudah sekolah? Mereka pun dengan jelas menjawab “belum”. Karena mereka “dididik berbohong” hanya pada saat menjajakan. Pada saat mengobrol melupakan barang dagangan, mereka menjadi diri mereka sendiri. Kami lantas bilang, “loh tadi katanya ini buat sekolah, ko belum sekolah?” dan mereka pun dengan tingkah polosnya tersadarkan atas jawaban mereka yang “salah”. Kami tanya, kenapa mereka berjualan, mereka bilang disuruh mama. Kami tanya, mama nya dimana, mereka bilang di rumah. Jelas kami protes, “ko kamu jualan mama kamu di rumah? Kamu tuh ngga boleh jualan, kamu harusnya main, belajar. Yang jualan biar mama aja.” Mereka jawab, mama nya jaga adik. Dan saya sih sudah hilang percaya disini.

Lepas dari adek-adek yang diperbudak orang tuanya sendiri, kami masuk ke Pura Pusat. Lagi lagi dan lagi kami dibikin jengkel. Disana hanya kami yang tidak membawa guide. Dan disana hanya kami yang dilarang mendekat ke pura. Alasannya, kecuali yang beribadah tidak boleh mendekat. Tapi taukah kalian yang jelas-jelas ada di depan mata kami? Hanya kami yang dilarang, karena hanya kami yang tidak bawa guide. Selain kami? Ya dengan berbahagia bisa potret sana-potret sini. Mendekat kesana-mendekat kesini.

Jadi kesimpulannya, kalian para warga Pura Besakih, lupa sudah kalo kita ini sodara sebangsa kalau kami tidak bawa uang untuk kalian???

One thought on “Kisah Sedih di Pura Besakih

Leave a comment